Cerpen "Hujan Rindu Menjalang"
Setiap hujan turun untuk menyapa penduduk bumi, gadis itu
tak pernah absen duduk di tepi pekarangan rumah sambil memandang langit. Ia
menanti air langit itu tanpa pernah menaruh kesal dan gundah. Senyum selalu
tergambar di wajah sendunya. Sudah enam periode musim penghujan ia lalui. Dan
ia masih sendiri. Mungkin, tahun berikutnya akan jadi waktu keberuntungan bagi
dia.
Hujan adalah mimpi yang masih ia
pendam dan berharap suatu ketika ada jawaban yang mampu mengusir segala sepi di
dirinya. Lelaki enam tahun lalu telah membuatnya benar-benar jatuh hati. Tak
dapat ia pungkiri, pria itu dengan sempurna membangun istana megah di sudut
batinnya. Meski hanya dalam satu kali pertemuan yang amat singkat. Karena
lelaki itu, gadis itu masih dapat menikmati peliknya dunia.
Mungkin akan terdengar berlebihan
saat dikata pria itu adalah cinta pertamanya. Hanya sekian detik mereka saling
bertatapan. Dan, secepat itu pula pria itu pergi. Gadis itu tak pernah
mengerti, mengapa ia harus menggantung harap pada sosok yang tak pernah
dikenalnya. Tapi keyakinannya berkata, suatu saat nanti mereka akan bertemu.
Pasti.
Enam tahun lalu, di tempat yang
sama, gadis ikal itu hanyalah mahasiswa biasa yang cukup labil. Ia sulit
mengendalikan emosi yang kerap kali membuncah tak tentu. Bukan hanya itu,
keadaan dalam rumah yang kacau membuatnya kian membenci hidup. Tak berbeda
dengan suasana rumah, di sekolah ia pun menjadi bahan bulan-bulanan yang amat
menarik. Anak mucikari, julukannya.
Aneka kemalangan masih terus
menghampirinya. Ibunya tewas dengan kondisi yang menyedihkan. Memar-memar
kebiruan memenuhi sekujur tubuh mulusnya. Gadis itu makin merasa marah. Marah
akan keadaan hidup, marah akan takdir Tuhan yang digariskan untuknya, dan marah
pada wanita jalang yang telah membawanya ke dunia. Lambat laun, ia benar-benar
membenci Tuhan.
Hingga saat senja tiba, gadis malang
itu benar-benar merasa semakin gila akan dirinya. Ia berlari ke jalanan besar
dan berhenti tepat di tengah. Menanti kendaraan besar yang mau menggilas
tubuhnya hingga remuk. Pada saat yang sama, hujan rintik mulai membasahi daerah
itu dan membuat ia mendongak menatap senja. Maaf,
Tuhan. Aku sudah bosan dengan dunia keji ini, pikirnya. Tak lama, bunyi
klakson panjang saling bertaut-tautan. Gadis sipit itu memejamkan mata dengan
senyum manis di bibirnya. Dalam bayangannya, ia akan mendapat kesenangan hidup
di kehidupan lain. Sekian detik berselang, suara klakson tak lagi ia tangkap.
Dengan mata terpejam, dia mengulum senyum tipis. Gadis itu telah ada di dunia
lain yang pasti lebih baik. Dan, ia akan bersiap memulai kehidupan baru dengan
penuh tawa.
Kala sepasang matanya terbuka lebar,
ia sadar bahwa dunianya yang baru sangat mirip dengan wilayahnya tinggal.
Akasia di ujung jalan dan rumahnya di seberang. Semua sama. Dan, kini ia berada
di pangkuan seorang pria muda di tepi trotoar. Pria dengan jas hitam panjang
dan sorot mata yang hangat. Gadis itu meletakkan gambaran pria itu dengan jelas
di benaknya sampai saat ini.
Pada tahun ketujuh penantian, ia masih
setia mematung menatap lembayung sore dan hujan rintik nan sejuk. Senyum dan
tatapan penuh harap masih ia pegang erat tanpa keluh kesah./#erina
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Entah mengapa saya amat gandrung dengan senja, hujan, dan flamboyan. Mereka indah, namun tak jauh dari kesedihan yang pelik, Penantian selalu erat dengan ketiganya, tapi tak terasa berat.
Komentar
Posting Komentar
Enter Your Comment Here! :D