Nyalang PGSD dalam Kabut Bayang

PGSD? Pertanyaan itu seringkali terlontar saat ada yang saling berbincang mengenai salah satu prodi pendidikan tinggi keguruan. Mengapa? Pola pikir masyarakat umum terlanjur terkotak bahwa PGSD hanya akan mencetak calon guru yang akan disibukkan mendidik anak usia kisaran 7-12 tahun dengan kenakalan khas dan teramat sulit dikendalikan. Selepasnya, rumor tugas yang disandang guru SD mulai dari pengelolaan kelas, perumusan aneka lembar evaluasi, dan menyelesaikan laporan maupun lembar administrasi yang tampak menyebalkan.  Tak hanya itu, gaji yang dianggap tak cukup memenuhi kantong juga menjadi momok mereka yang memandang sebelah mata prodi PGSD dan produk lulusannya ini.
Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah. Mengingat profesi guru SD di kalangan masyarakat bagai tersingkir oleh profesi-profesi lain yang dinilai lebih bonafit dan berkelas seperti dokter, perawat, polisi, dan lain sebagainya.
Namun, pemikiran kuno itu mulai lungsur mengingat pemerintah tengah gencar-gencarnya buka suara mengenai peningkatan kesejahteraan guru, terutama guru SD. Ditambah pula kabar pensiun masal guru-guru di rentang tahun 2015-2020 turut memperindah nama PGSD. Mulailah banyak saran (baca: dorongan) untuk menempuh prodi ini. Kini, PGSD seolah primadona yang populer di kalangan masyarakat.
Hal yang kontras sangat terlihat dari jumlah peminat prodi PGSD dari tahun ke tahun terus meningkat pesat belakangan ini. Hingga menjadikan prodi PGSD kini sejajar dengan prodi favorit pilihan lainnya.
Selebihnya, citra prodi PGSD masih saja terasing. Parahnya, beberapa universitas “mendorong jauh” kampus PGSD dari kampus induknya. Hingar bingar kehidupan kampus utama tentu akan teramat jarang dirasa mengingat jarak yang membentang cukup jauh dan tentu memakan banyak waktu hanya untuk sekali perjalanan. Tentu, social gap akan tercipta terutama saat adanya kegiatan yang mengharuskan keseluruhan mahasiswa bersua di suatu kegiatan, misal Pormaba, Orasium, SAMBA, dan sebagainya. Mahasiswa PGSD seolah “orang baru” di kampus sendiri. Fasilitas yang serba minim juga menjadi alat pukul mundur kreatifitas dan pengetahuan informasi bagi mahasiswa. Misalnya sinyal hotspot wifi yang terbilang cukup banyak hanya saja yang dapat terhubung tinggalah beberapa. Sehingga tak jarang mahasiswa PGSD terpaksa menyeret langkah ke pos Telkom terdekat demi memperoleh sambungan internet yang lancar.
Karena berada di kampus cabang, kegiatan organisasi mahasiswa di kampus PGSD juga seolah mati suri. Terkadang nyalang dengan nyata, mati, lalu nyalang kembali. Sebabnya beragam, mulai dari kas dana kegiatan dari pusat yang datang tak tentu, susahnya perolehan izin dari Kabid Kemahasiswaan setiap pengadaan program mahasiswa baik kegiatan intern maupun ekstern, dan parahnya adalah rendahnya partisipasi mahasiswa PGSD sendiri. Beberapa mengungkapkan merugi karena kegiatan di kampus cabang tak akan dihiraukan kampus pusat. Tentu saja hal-hal tersebut menghambat laju organisasi kemahasiswaan yang ada. Tak jarang, ragam alasan tercipta seperti sibuknya mahasiswa di organisasi lain, tugas kuliah yang menumpuk, dan beberapa alasan klise lainnya namun terdengar cukup logis. Dari fenomena inilah sebagian mahasiswa PGSD tutup mulut akan prodinya sendiri.
Tapi, bila diselisik lebih dalam, prodi PGSD selain merupakan pendidikan keguruan, juga adalah pendidikan karakter dan moral. Mengingat, mahasiswa PGSD pun dibekali pengetahuan afektif yang luhur dan wawasan kemasyarakatan nan luhung. Perangai santun, sabar, dan penyayang tak luput dari pengajaran setiap harinya. Secara tidak langsung, mahasiswa PGSD seakan telah dibentuk karakternya sekaligus sebagai bekal membangun watak manusia Indonesia yang sesungguhnya mengacu pada aturan Agama dan Pancasila. Tak hanya itu, kemampuan “perawatan” masyarakat pun telah digenapkan selama menempuh pendidikannya selama 8 semester.
Dan yang menjadi sorot utama, mahasiswa PGSD yang menjadi bakal pendidik adalah pelurus generasi penerus. Bermodal keterampilan general di berbagai bidang ampu, seperti kemampuan menguasai pembelajaran kelas, penanganan laku siswa, public speaking, komputer, kepramukaan, musik, tari, kerajinan, karya tulis, pengelolaan laporan dan lembar evaluasi, administrasi, olah raga, bahkan keterampilan penanganan ABK turut menyumbang keunggulan produk PGSD. Profil lulusannya pun harus mengacu pada Standart Kompetensi Guru Kelas (SKGK) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan kecakapan beragama, pelaksanaan dan penilaian proses pembelajaran di kelas, penguasaan materi pembelajaran, handal dalam menerapkan didaktik metodik dan penelitian tindakan kelas, serta lihat berkomunikasi empatik dalam kehidupan masyarakat. Selebihnya, mahasiswa PGSD juga dituntut menguasai lima pokok ajar yakni Bahasa Indonesia, Matematika, PKn, Ilmu Sosial, Ilmu Alam, dan berbagai mata pelajaran pendukung lainnya.
Jadi, lepas kesahmu dan tambat semangatmu! PGSD, ande!

(Erina Budi Purwantiningsih, KSDP/PGSD PP3 UM. Created on 2016)


Artikel ini diterbitkan oleh Majalah Media (Pengembangan Pendidikan Jawa Timur) Edisi Februari 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEKILAS BATAS PENDIDIKAN DI S1 PGSD UNIVERSITAS NEGERI MALANG

Yuk, Kenalan dengan Kampus 3 Universitas Negeri Malang

Mengenal si Uranus: Planet Uranus: Planet Misterius yang Terguling