Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Sebuah Kisah (3): Terus Berdiri

Setiap orang berhak mengungkapkan "kelemahannya" saat ia merasa dayanya habis. Kurang lebih aku menyetujui pernyataan itu. Aku bukan ingin menunjukkan kelemahanku, tunggu, tidak ada manusia yang ingin diketahui kelemahannya, tidak satupun. Namun, ada kalanya ia ingin orang lain tahu bahwa menanggung sendiri itu teramat berat adanya dan ia pun berhak berujar, "temani dan bantu aku." Sekalipun ia berkata nyalang di dalam hatinya, untuk dirinya sendiri. Kuharap ada angin segar yang membisikkan padaku bahwa menjadi terbuka tehadap dunia adalah cara hidup bahagia. Kuharap aku percaya bahwa tak perlu memikul berat menjuntai dan berusaha mengurainya sendiri. Aku butuh melepas lelah, aku butuh duduk, dan aku butuh... bersandar. Maka yang perlu kulakukan adalah meletakkan penak di penopang yang kokoh, yang sanggup menahanku dan menjaga tegakku. Kuharap alat topangku sekokoh karang, ia tak elak mengaduh walau badai memburu. Kuharap alat topangku adalah langit, yang sudi hid...

Sebuah Kisah (2): Aku Siap

"Jika pengharapan tak pernah ada di dunia, kurasa aku sudah membunuh diriku karena rinduku teramat menggebu." Patria, 2017. Tak ada yang berbeda, seperti biasa langit berwarna biru muda dan sayup angin masih lembut beradu dengan sorot kasar matahari yang masih menunggu. Bayanganku jauh menembus batas, kulihat lautan lepas masih tenang membawa kapal-kapal melaju ke tuju. Dan kukatakan, aku masih sama seperti diriku yang melambai pada "diriku yang lain" di gelap malam yang ranum. "Dengarlah, aku tengah merindu." Ah, kurasa menjadi wanita pun harus tahan banting. Tak mudah mengungkap susah, berkata lelah, apalagi mengucap menyerah. Tidak! Hei kau, jika hatimu bertanya seberapa siapkah aku menebalkan tekadku untuk selalu terjaga, jawabku adalah, "aku siap sedia." */ern

Sebuah Kisah (1): Yakinku

Alkisah. Biasanya aku mengawali pagiku dengan ujaran itu. Sebagai pemulaan, ucapnya padaku di bawah matahari yang baru bangun. Entah apa gerangan maksudnya, dia selalu berlari setiap aku hendak menarik kaos birunya untuk kujadikan lap tangan. "Aku akan menemanimu, tapi tidak menjadi temanmu." Masih belum lama, sepersekian detik lalu aku mengingatnya. Lekat. Seolah dia di hadapanku dan memaksa menempel di lembar tugas yang ku tempelkan di kepala. Rasanya, dia disana. Aku terus menerka. Mungkinkah, tunjukku salah arah? Aku tiada mau terkilir untuk dua masa. Senja menjadi demikian gelap saat aku berjalan kembali. Maka aku harus mengukuhkan diriku. Ah, hatiku ingin mengungkap. Nyatanya segan, ini jalan buntu, tak berlubang. Aku menunggu terowongan digali dan aku akan melewatinya, sekalipun berlumpur dan penuh batu, nantinya. Tiada apa. Ya, aku yakinkan diriku tak akan tersungkur. Sekalipun nantinya akan jatuh, sudahlah. Aku tiada tahu akhir kisah. Tuhan punya rumus kebahagiaa...