Full day school?
Hampir setiap hari saya mendengar gembar-gembor pengadaan agenda satu ini di dunia pendidikan. Kebetulan saya berkecimpung langsung di dunia ini, mengingat saya adalah mahasiswa PGSD di salah satu universitas negeri di kota Malang, Jawa Timur. Selain itu saya juga menjadi guru bimbel untuk siswa Sekolah Dasar. Sehingga saya cukup akrab dengan dunia sekolah dan hal-hal yang menjadi pondasinya.
Efektifkah? Mungkin perlu saya paparkan pro dan kontra yang menghuni pemikiran saya beserta fakta yang acap saya jumpai di sekitar saya.
Full day school mengharuskan siswa mengikuti pembelajaran di sekolah sejak pukul 7 pagi hingga pukul 4 sore. Nyaris 10 jam setiap hari harus dihabiskan siswa untuk berada di sekolah.
|
Sumber gambar: google.com (find me on instagram account @erinabudi_) |
Apa kata pemikiran saya?
Saya dengan tegas menolak. 9 jam kegiatan di sekolah itu menurut saya sangat ajaib. Ajaib? Semasa SMA, saya adalah siswa SMA RSBI (meskipun cuma 6 bulan, karena RSBI keburu dihapus. Padahal tes masuk SMA RSBI saat itu setara dengan soal olimpiade tingkat provinsi yang pernah saya jumpai semasa SMP dulu. Namun, ujar’nya’ RSBI dan SBI tiada guna? Entahlah.) yang harus mengikuti pembelajaran di sekolah dari pukul 7 pagi hingga setengah 3 sore. Itu murni untuk pembelajaran di kelas, mengingat saya gemar mengikuti kegiatan organisasi sekolah, jadi hampir-hampir waktu saya di sekolah hingga pukul 5 sore. Saya tidak mengatakan saya lelah atau bosan. Tapi itu sudah cukup menyita waktu saya di rumah untuk kegiatan masyarakat dan sekedar membantu orang tua.
Nah, sekarang dengan pemberlakuan Full day school sejak Sekolah Dasar, apa gunanya? Bukankah hanya akan mengisolasi anak dari dunia kemasyarakatan dan dunia si anak sendiri? Mengingat waktunya sudah tersita dalam ‘penjara’ sekolah. Menurut saya jawabannya adalah IYA.
Berdasar fakta yang saya jumpai di lapangan serta hasil percakapan ringan dengan murid-murid saya di sela-sela pembelajaran di tempat bimbel, mereka mengatakan SENANG dengan aturan Full day school tersebut. Tunggu! Senang dalam artian sering bertemu teman dan “bermain” tanpa batas di sekolah. Ungkap mereka, saat pembelajaran guru pun terkadang hanya memberi tugas dengan drill kepada siswa, saat tugas dinilai sudah purna maka siswa diberi waktu istirahat (baca: bermain-main). Memang, dari segi manusiawi gurupun juga manusia biasa yang memiliki segudang aktivitas pribadi juga, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga. Tidak hanya melulu waktu dihabiskan di sekolah!
Sementara siswa lagi-lagi juga hanya manusia normal yang memiliki kepenatan dalam menerima materi pembelajaran. Tidak terus-menerus bisa menerima drill dari guru apalagi jika nyatanya embel-embel full day school tiada berjalan sebenarnya, karena sebagian waktu dari pembelajaran digunakan untuk bermain-main karena memang tidak bisa dipaksakan, siswa juga anak-anak ataupun remaja yang membutuhkan waktu istirahat dan berkumpul bersama keluarga. Jadi, efektifkah?
Selebihnya, kita juga sama-sama tahu bahwa pendidikan utama berasal dari keluarga. Nah, lalu bagaimana pendidikan keluarga mampu berjalan jika waktu anak dihabiskan di sekolah (bukan untuk belajar, tapi bermain-main)?
Mungkin anda punya pendapat sendiri, tapi bagi saya model pembelajaran semasa saya SD (kurikulum 2004) lebih efektif dan berguna untuk kehidupan saya yang bahkan hingga sekarang masih bisa saya rasakan manfaatnya. Saya bisa belajar dengan menyenangkan di sekolahan, bermain dengan teman sewajarnya, dan memiliki banyak waktu luang untuk keluarga meskipun hanya sekedar membantu pekerjaan rumah ringan.
Sekali lagi, bukan setiap perubahan dalam dunia pendidikan menuju ke lebih baik pada kenyataannya, tak semuanya sesuai teori.
Dan, ini pendapat saya pribadi. Saya sedikit kecewa dengan perubahan-perubahan yang kurang jelas dari sistem pendidikan di Indonesia.
Semoga Indonesia lebih baik lagi ke depannya. Mari maju pelurus generasi penerus! */ern
Komentar
Posting Komentar
Enter Your Comment Here! :D